AMPLK Sultra Pertanyakan PPKH dan RKAB PT PIP di Konut

KONAWE UTARA – Aktivitas salah satu perusahaan tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara (Konut) dipertanyakan Aliansi Mahasiswa Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan (AMPLK) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Ketua AMPLK Sultra, Ibrahim mengatakan bahwa pihaknya mempertanyakan aktivitas PT Putra Intisultra Perkasa (PIP).
“Kita ketahui bersama RKAB adalah barang yang wajib bagi perusahaan tambang nikel dalam melakukan aktivitasnya,” kata Putra daerah Konut.
Ibrahim yang juga jebolan aktivis HmI ini mempertanyakan aktivitas PT PIP apakah sudah mengantongi RKAB atau belum.
“Kita pertanyakan RKAB PT PIP, karena RKAB merupakan barang yang wajib dikantongi perusahaan tambang dalam melakukan aktivitasnya,” ungkap Alumni Hukum UHO.
Lanjut Ibrahim juga membeberkan bahwa PT PIP berdasarkan SK.1217/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2021 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan tahap III (Tiga) dari KLHK mesti membayar Denda Administratif PNBP PPKH.
“Dalam SK tersebut menyebutkan bahwa PT PIP melakukan aktivitas di kawasan HPT seluas 97,86 Hektar dan berdasarkan UU Cipta Kerja mesti dilakukan pembayaran denda administratif PNBP PPKH atas bukaan di kawasan hutan,” bebernya.
“PT PIP dalam SK tersebut mesti mengikuti skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja dengan menggunakan pasal 110 B UU Cipta Kerja, Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 110B UU Cipta Kerja yaitu Penghentian sementara kegiatan usaha, Pembayaran denda administratif, Paksaan pemerintah untuk mendapatkan persetujuan melanjutkan kegiatan usaha,” bebernya lagi.
“Kita juga pertanyakan apakah PT PIP hari ini dalam melakukan aktivitasnya telah mengantongi PPKH atau belum, karena seharusnya sebelum diterbitkan PPKH, PT PIP diwajibkan melakukan pembayaran denda administratif PNBP PPKH,” tambahnya.
Pihaknya juga menegaskan bahwa PPKH adalah salah satu dokumen wajib yang dimiliki perusahaan tambang nikel yang melakukan aktivitas di kawasan hutan.
“Selain IUP, perusahaan tambang nikel juga wajib mengantongi PPKH dan juga RKAB dalam melaksanakan aktivitas penambangannya, nah RKAB dan PPKH PT PIP ini kita pertanyakan apakah sudah ada atau belum, kalau belum ada ini adalah pelanggaran serius dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut,” bebernya lagi.
Untuk itu, Ibrahim meminta pihak berwenang untuk mengawasi aktivitas PT PIP.
“Kita minta pihak berwenang untuk awasi PT PIP, dan jika ditemukan pelanggaran, APH mesti tindaki,” pungkasnya.
Sementara itu salah satu penanggung jawab PT PIP, Indra mengatakan bahwa pihaknya telah mengantongi RKAB dalam melakukan aktivitasnya.
“Iya sudah ada, mungkin data belum update (data 64 Perusahaan yang telah mengantongi RKAB di Dinas ESDM Sultra yang merupakan tembusan dari Kementerian ESDM),” katanya saat dikonfirmasi via pesan WhatsApp, Kamis 27 Februari 2025.
Namun saat ditanyakan perihal berapa kuota RKAB PT PIP, hingga berita ini diterbitkan, Indra belum memperlihatkan dokumen jumlah kuota RKAB.
Selain itu Media ini juga mengkonfirmasi terkait denda administratif PNBP PPKH dan soal PPKH PT PIP via WhatsApp dan pesan SMS, namun hingga berita ini diterbitkan belum mendapatkan tanggapan.
Saat dihubungi via telepon, pihaknya juga enggan memberikan tanggapan.
“Bentar, bentar,” ujarnya singkat.
Pihaknya hanya mengirimkan potongan gambar surat bahwa PT PIP telah mengantongi RKAB di tahun 2024 sampai dengan tahun 2026 dari Kementerian ESDM.
Sementara itu sebelumnya berdasarkan data yang diterima media ini dari Kadis ESDM Sultra Andi Azis melalui Kabid Minerba, Muhammad Hasbullah Idris pada Kamis 13 Februari 2025 hanya ada 64 Perusahaan yang mengantongi RKAB di Sultra berdasarkan tembus Kementrian ESDM ke Dinas ESDM Sultra.
Namun dari data 64 Perusahaan di Sultra yang telah mengantongi RKAB tak terdapat nama PT PIP.*