Barisan Pemuda Pemerhati Daerah Sultra Adukan PGRI Baito di Polda Sultra Soal Surat Boikot
Kendari – Menyusul surat boikot yang dikeluarkan oleh PGRI Baito terhadap murid yang menjadi korban penganiayaan, Barisan Pemuda Pemerhati Daerah Sulawesi Tenggara melancarkan aksi demonstrasi di depan Polda Sultra pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Aksi Barisan Pemuda Pemerhati Daerah Sulawesi Tenggara tersebut berujung pelaporan ke unit PPA Ditreskrimum Polda Sultra.
Aksi ini bertujuan untuk menuntut keadilan dan pengembalian hak pendidikan bagi Chaesar Dalfa, murid yang masih trauma setelah mengalami kekerasan dari seorang guru honorer.
Surat edaran PGRI Baito yang bernada diskriminasi terhadapa Chaesar untuk tidak bersekolah menambah kepedihan yang dialaminya. Dalam aksi tersebut, para pemuda menuntut enam poin utama kepada pihak berwenang, termasuk meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sultra untuk melakukan pendampingan psikologis bagi Chaesar.
“Kami mendesak Unit PPA Polda Sultra untuk segera melakukan pemulihan psikologis dan pendampingan bagi korban kekerasan ini,” tegas Firman Adhvaksa, Jenderal Lapangan Barisan Pemuda.
Ia juga menekankan pentingnya menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap anak dan menuntut agar pelaku segera ditangkap dan diadili.
Aksi ini mendapatkan perhatian luas dari masyarakat. Para demonstran menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 31, dan tidak seharusnya seorang anak dipaksa untuk kehilangan kesempatan belajar akibat tindakan kekerasan.
Peristiwa penganiayaan yang dialami Chaesar terjadi pada 24 April 2024. Saat itu, ia tengah bermain dengan teman-temannya ketika guru bernama Supriyani menegurnya secara keras, yang kemudian berujung pada tindakan kekerasan. Kasus ini dilaporkan orang tua Chaesar ke Polsek Baito pada 26 April dan kini sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Andoolo.
Melalui aksi ini, Barisan Pemuda Pemerhati Daerah Sultra berharap agar suara mereka didengar dan tindakan nyata segera diambil oleh pihak berwenang. Mereka menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak harus dihentikan, dan semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang aman dan bebas dari ancaman.
“Kami akan terus berjuang untuk keadilan bagi Chaesar dan semua anak yang menjadi korban kekerasan. Suara kami adalah suara untuk masa depan yang lebih baik,” pungkas Firman, menggarisbawahi komitmen mereka untuk melindungi hak-hak anak di Sulawesi Tenggara.
Orang tua korban, Nurfitriana menyayangkan adanyaa surat edaran yang dikeluarkan oleh PGRI Baito, pasalnya ia menganggap hal tersebut merugikan anakanya yang tidak lagi memperoleh pendidikan selakyaknya anak-anak sebayanya.
“Saya sangat menyayangkan dengan adanya surat edaran yang di keluarkan PGRI Baito, melarang seluruh sekolah se Kecematan Baito untuk tidak menerimah anak saya sekolah saya juga merasa sedih karena anak saya tidak bersekolah selama seminggu semenjak adanya surat edaran tersebut,” jelasnya.
Nurfitriana berharap anaknya mendapatkan haknya diterima kembali untuk menmpuh pendidikan ,bersosialisasi dan mendapatkan perlakuan yang sama tampa adanya intimidasi dan Diskriminasi.*